Nasional, Penacakrawala.com – Pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan pada 11 Juli 2023 lalu menimbulkan gonjang-ganjing di kalangan praktisi kesehatan Indonesia. Hal ini menuai protes keras dari lima organisasi profesi, yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Pasalnya, ada banyak sekali persoalan yang dinilai berbahaya dan justru menurunkan kualitas layanan kesehatan di masyarakat. Salah satu poin yang disoroti tersebut adalah “Pemanfaatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri”. Bila dicermati pernyataan dari pasal-pasal di dalamnya, kesannya seolah-olah memberi kemudahan izin dokter asing untuk berpraktik di dalam negeri.
Sebagai dokter, saya mengerti keresahan teman-teman sejawat saya terkait hal ini. Dari Pasal 233 ayat (1) yang menyatakan bahwa Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang melaksanakan praktik di Indonesia harus mengikuti evaluasi kompetensi. Kemudian di ayat-ayat selanjutnya di pasal itu dibahas mengenai evaluasi yang dimaksudkan itu seperti apa.
Namun, dari sekian ayat tidak ada satu pun membahas mengenai bagaimana langkah konkret, alur evaluasi yang dibutuhkan, komponen-komponen yang dievaluasi, komite apa yang khusus dibentuk untuk mengevaluasi, dan perincian sistem pengevaluasian dokter asing ini seperti apa. Bahkan sampai pasal-pasal selanjutnya pun tidak ada perincian pengevaluasian itu seperti apa. Seharusnya, sebelum pasal ini dibuat, sudah ada rencana pembentukan komite yang bertugas mengevaluasi dan dibentuk rancangan sistem evaluasinya.
Saya tidak tahu apakah karena dalam pembentukan undang-undang ini kurang keterlibatan dari personel-personel bidang kesehatan, ataukah memang pemerintah yang tidak terlalu tahu tentang seluk-beluk sistem kesehatan yang berlaku di negara ini dan perbandingan dengan negara-negara lain. Dan, hanya memandang area kesehatan sebagai komponen cuan negara seperti bidang lainnya yang bisa sembarang dikenakan peraturan persaingan pasar bebas?
Padahal ada banyak sekali negara yang lebih maju dari Indonesia, masih sangat ketat dalam hal memberikan izin warga negara lain untuk berpraktik kesehatan di negara mereka. Mereka biasanya sudah punya sistem uji kualifikasi yang terstruktur, jelas, detail, membutuhkan banyak biaya, dan tentunya bisa memakan waktu lama (bulanan hingga tahunan).
Di Amerika Serikat dan Kanada ada United States Medical Licensing Examination (USMLE), lalu New Zealand Registration Examination (NZREX) untuk New Zealand, Australian Medical Council (AMC) untuk Australia, dan Professional and Linguistic Assessments Board (PLAB) untuk Inggris. Apakah tesnya mudah? Tentu tidak. Banyak yang mengulang di tahapan tertentu, kembali menghabiskan waktu dan uang.
Bahasa Setempat
Perlu diingat bahwa profesi dokter tidak hanya mengutamakan teori kedokteran seputar kesehatan dan penyakit saja, tapi juga keterampilan dalam melakukan tindakan, bekerja sama dalam tim di suatu sistem kesehatan, dan yang paling utama adalah kemampuan komunikasi interpersonal, baik dengan kolega, maupun pasien. Dengan kata lain, harus menguasai bahasa setempat. Terkadang bahasa yang digunakan bukan merupakan bahasa resmi nasional, tapi berupa bahasa daerah, atau dialek/logat lokal.
Apakah terkait bahasa ini sudah dipertimbangkan dalam menyusun Undang-Undang Kesehatan ini? Bagaimana dokternya mau mengerti apa yang dikeluhkan pasien, bila bahasanya saja tidak lancar? Mungkin negara-negara Barat yang sudah maju kurang begitu dekat pencerminannya dengan kondisi Indonesia. Maka, saya akan mengambil contoh dari Filipina karena kebetulan suami saya pernah mengikuti pendidikan di sana.
Filipina yang merupakan sesama negara ASEAN ini ternyata memiliki krisis dokter seperti di Indonesia. Pemerintah Filipina membuka kesempatan yang luas bagi dokter-dokter di luar negaranya untuk mengikuti residency training (pelatihan/belajar untuk menjadi dokter spesialis) di negaranya asalkan lolos administrasi dan ujian di pusat kesehatan tempat yang dituju untuk residency training.
Namun, pemerintah Filipina sangat berhati-hati membuka praktik bagi dokter asing. Rata-rata dokter asing yang dapat diterima untuk berpraktik di Filipina memiliki kondisi seperti pindah kewarganegaraan (karena pernikahan dengan orang lokal), memiliki perjanjian timbal balik entah dalam hal transfer ilmu, kerja sama membuka cabang di negara asal, atau perekrutan calon-calon dokter atau dokter spesialis yang ingin melanjutkan pendidikan ke Filipina.
Mengapa demikian? Sekali lagi, ini terkait dengan bahasa lokal. Meskipun secara resmi Negara Filipina menggunakan bahasa Inggris dan Tagalog, kenyataannya pengucapan bahasa Inggris khas Filipina (Philippine English) sedikit berbeda dengan American English dan British English yang biasanya diajarkan di sekolah-sekolah di negara yang bahasa resminya bukan bahasa Inggris. Ya, contohnya negara kita, Indonesia. Belum lagi tentang bahasa Tagalog yang digunakan masyarakat lokal, saat pemakaiannya sering bercampur dengan bahasa Inggris menjadi Taglish (Tagalog-English).
Standar Kompetensi
Selain itu, belum tentu dokter-dokter asing tersebut benar-benar kompeten sesuai standar di negara yang bersangkutan. Tiap negara memiliki standar kompetensi yang berbeda karena pola sebaran penyakitnya berbeda, teknologi dan fasilitas kesehatan berbeda, sistem pendidikan kedokteran yang berbeda, bahkan pembagian bidang kedokteran pun bisa berbeda.
Terkait pola sebaran penyakit misalnya, di negara berkembang lebih banyak penyakit infeksi ketimbang negara maju yang lebih banyak penyakit terkait gangguan metabolik-endokrin dan keganasan. Jadi fokus utama pelayanan kesehatannya pun tentu berbeda. Dokter di negara lain belum tentu akan ketemu kasus penyakit infeksi yang sifatnya endemik di suatu negara, dan belum tentu berpengalaman dalam upaya penanggulangannya.
Terkait teknologi, dokter yang terbiasa di fasilitas kesehatan dengan teknologi robotic tentu tidak akan terbiasa dengan penanganan kesehatan yang fasilitas seadanya dan masih menggunakan cara-cara klasik konvensional. Terkait sistem pendidikan, ada yang university based, ada yang hospital based. Tentunya akan berpengaruh pada bagian lain dalam masing-masing sistem pelayanan kesehatan.
Adapun terkait perbedaan pembagian bidang kesehatan, saya ambil contoh dari pengalaman kerabat saya yang tinggal di Australia. Di sana ada podiatrist, yaitu ahli podology, dokter yang khusus menangani permasalahan kaki, pergelangan kaki, dan tungkai bawah. Sementara bidang tersebut secara khusus dan resmi belum ada di Indonesia. Ya, kalau permasalahan kaki terkait tulangnya, biasanya ke ortopedi. Atau kalau permasalahannya di otot, tendon, jaringan lunak yang menyebabkan gangguan pergerakan akan dianjurkan ke kedokteran fisik dan rehabilitasi.
Itu beberapa contoh gambaran perbedaan yang menjadi alasan mengapa seharusnya pemerintah tidak mempermudah dokter asing berpraktik di Indonesia, bila sistem evaluasi dan komponen-komponen yang harus dievaluasi masih belum jelas, serta integrasi ke dalam sistem pelayanan kesehatan, sasaran, dan target program kesehatan nasional belum lancar.
Kalau sistem yang masih carut marut ini kemudian disusupi oknum-oknum yang kompetensinya tidak bonafid, bukannya malah berbahaya? Jangan sampai nanti angka kejadian yang tidak diharapkan malah meningkat dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. (**/red)